Minggu, 12 April 2020

Cahaya Mudah Saat Ada Musibah Bencana


Segala puji bagi Allah Zat yang udah menciptakan kematian dan kehidupan di di didalam rangka menguji manusia siapakah di terhadap mereka yang paling baik amalnya. Zat yang udah mengutus Rasul-Nya bersama bersama hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas semua agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan kawan akrab terhitung semua pengikut mereka yang setia sampai tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk mencapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan sering kadang membawamu terperosok dan jatuh di
dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu jadi berat bagimu. Dadamu seolah-olah jadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah jadi sempit
bagimu. Apakah suasana ini bisa membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan namun bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Dan ketahuilah, sebenarnya kemenangan itu beriringan bersama bersama kesabaran. Jalan nampak beriringan bersama bersama kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu bisa singgah kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di di di didalam Musnad-nya bersama bersama nomer 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam udah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah sinar yang panas. Dia beri tambahan keterangan di sekelilingnya bisa namun sebenarnya jadi panas menyengat di di di didalam dad Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala memicu sebuah bab di di di didalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar di di didalam menghadapi takdir Allah terhitung cabang keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menyebutkan di di didalam penjelasannya tentang bab yang benar-benar berguna ini:“Sabar tergolong perkara yang duduki kedudukan agung (di di di didalam agama). Ia terhitung tidak benar satu bagian ibadah yang benar-benar mulia. Ia duduki relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan bagian badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak bisa terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berwujud larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa terhitung berwujud ujian di di didalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba sehingga dia berkenan bersabar kala menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melakukan perintah syariat serta menghindari larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui fasilitas ajaran agama dan melalui fasilitas ketentuan takdir. Adapun ujian bersama bersama ajaran agama sebagaimana tercermin di di didalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di di di didalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim berasal berasal dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu di di didalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) bersama bersama dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah jadi ujian. Sedangkan ada ujian mengetahui perlu sikap sabar di di didalam menghadapinya. Ujian yang ada bersama bersama diutusnya beliau sebagai rasul ialah bersama bersama bentuk perintah dan larangan.

Untuk melakukan berbagai kewajiban pasti saja diperlukan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan diperlukan bekal kesabaran. Begitu pula kala menghadapi ketentuan takdir kauni (yang menyakitkan) pasti terhitung diperlukan bekal kesabaran. Oleh dikarenakan itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar di di didalam berbuat taat, sabar di di didalam menghambat diri berasal berasal dari maksiat dan sabar tatkala terima takdir Allah yang jadi menyakitkan.”

Karena benar-benar sekurang-kurangnya dijumpai orang yang bisa bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun memicu sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau melakukan di di didalam rangka menyebutkan bahwasanya sabar terhitung bagian berasal berasal dari kesempurnaan tauhid. Sabar terhitung kewajiban yang kudu dilaksanakan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak berkenan sabar itulah yang banyak nampak di di didalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berwujud ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau memicu bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah tentang yang kudu dilaksanakan tatkala tertimpa takdir yang jadi menyakitkan. Dengan tentang itu beliau terhitung inginkan beri tambahan penegasan bahwa bersabar di di didalam rangka menggerakkan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya terhitung wajib.

Secara bahasa sabar berarti tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh di di didalam suasana “shabr”) yakni tatkala dia berada di di didalam tahanan atau tengah diikat sesudah itu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikian inti arti kesabaran yang dipakai di di didalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar dikarenakan di dalamnya terdapat penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menghambat hati untuk tidak jadi marah dan menghambat bagian badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan di di didalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut arti syariat, sabar artinya: “Menahan lisan berasal berasal dari mengeluh, menghambat hati berasal berasal dari marah dan menghambat bagian badan berasal berasal dari menampakkan kemarahan bersama bersama cara merobek-robek suatu tentang dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di di di didalam Al Quran kata sabar disebutkan di di didalam 90 area lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak memiliki kesabaran di di didalam menggerakkan ketaatan, tidak memiliki kesabaran untuk menghindari maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran terhitung bercabang-cabang. Maka bersama bersama perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau inginkan beri tambahan penegasan bahwa sabar terhitung tidak benar satu cabang keimanan. Beliau terhitung beri tambahan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang tunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu terhitung terhitung tidak benar satu cabang kekufuran. Sehingga tiap-tiap cabang kekafiran itu kudu dihadapi bersama bersama cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia kudu dihadapi bersama bersama sebuah cabang keimanan yakni bersabar terhadap takdir Allah yang jadi menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391). Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kalau bersama bersama izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di di di didalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengumumkan bahwa semua musibah yang menimpa seorang individu di terhadap umat manusia, baik yang tentang bersama bersama dirinya, hartanya atau yang lainnya cuma bisa berjalan bersama bersama dikarenakan takdir berasal berasal dari Allah. Sedangkan ketentuan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah terhitung menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini berjalan bersama bersama ketentuan dan takdir Allah niscaya Allah bisa beri tambahan taufik kepadanya sehingga bisa untuk jadi ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya dikarenakan percaya terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala tentang yang bisa memicu hamba-hambaNya jadi baik. Dia terhitung maha lembut ulang maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).Alqamah, tidak benar seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan dia mengetahui bahwa musibah itu berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menyebutkan di di didalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:“Ini merupakan tafsir berasal berasal dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan
firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah ke di di didalam hatinya,’ disebutkan di di didalam konteks ditimpakannya musibah
sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ berarti ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melakukan perintah-Nya serta menghindari larangan-Nya.

‘Niscaya Allah bisa beri tambahan hidayah ke di di didalam hatinya,’ yakni sehingga bersabar. ‘Allah bisa beri tambahan hidayah ke di di didalam hatinya’ sehingga tidak jadi marah dan tidak terima. ‘Allah bisa beri tambahan hidayah ke di di didalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh dikarenakan itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan dikarenakan dia mengetahui bahwa musibah itu berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kami bisa menuai banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah: Keburukan itu terhitung terhitung perkara yang udah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang jadi dikarenakan hati bisa mencapai hidayah dan merasakan ketenteraman diri. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala. (Al Jadiid, hal. 314). Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:“Hukum jadi ridha bersama bersama ada musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh dikarenakan itu banyak orang yang kesulitan membedakan terhadap ridho bersama bersama sabar.

Sedangkan analisis yang tepat untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah tidak benar satu kewajiban yang kudu ditunaikan. Hal itu dikarenakan di di di didalam sabar terdapat meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketentuan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:Sudut pandang pertama, terarah kepada tingkah laku Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba jadi ridho terhadap tingkah laku Allah yang mengambil alih ketentuan terjadinya segala sesuatu. Dia jadi ridho dan bahagia bersama bersama tingkah laku Allah. Dia jadi bahagia bersama bersama hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia jadi ridho terhadap bagian bagian yang didapatkannya berasal berasal dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap tingkah laku Allah ini terhitung tidak benar satu kewajiban yang kudu ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang kudu ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada tentang yang diputuskan, yakni terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum jadi ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho bersama bersama sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho bersama bersama dikarenakan kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk jadi ridho bersama bersama dikarenakan kehilangan hartanya. Namun tentang ini hukumnya mustahab (disunahkan).Oleh dikarenakan itu di di didalam konteks sesudah itu (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini bicara tentang seorang laki laki yang tertimpa musibah dan dia mengetahui bahwa musibah itu berasal berasal berasal dari faktor Allah maka dia pun jadi ridha’ yakni jadi bahagia terhadap ketentuan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ dikarenakan ia mengetahui musibah itu datangnya berasal berasal dari faktor (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah tidak benar satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah inginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan kalau Allah berharap keburukan terhadap hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu
hingga dibayarkan di kala hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi bersama bersama nomer 2396 di di di didalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia terhitung diriwayatkan oleh Al Haakim di di didalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia dicantumkan di di didalam Ash Shahihah karya Al Albani bersama bersama nomer 1220).“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia jadi dikarenakan dihapuskannya dosa-dosa. Ia terhitung menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap ulang taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya berasal berasal dari

sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang nampak karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai dikarenakan penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini terhitung nikmat yang paling agung. Maka semua musibah terhadap hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi total makhluk, kalau kalau musibah itu memicu orang yang tertimpa musibah jadi terjerumus di di didalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum akan tertimpa. Apabila itu yang berjalan maka ia jadi keburukan baginya, kalau ditilik berasal berasal dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.Sesungguhnya ada di terhadap orang-orang yang kalau mendapat ujian bersama bersama kemiskinan, sakit atau terluka justru memicu timbulnya sikap munafik dan protes di di didalam dirinya, atau terutama penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan jadi berkubang bersama bersama berbagai tentang yang diharamkan sehingga berakibat jadi membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini kalau ditilik berasal berasal dari faktor

pengaruh yang timbul sesudah dia mengalami musibah, bukan berasal berasal dari faktor musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang bersama bersama musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melakukan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri berjalan sesuai bersama bersama ketentuan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji dikarenakan perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji bersama bersama suatu musibah sesudah itu diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus dikarenakan itu maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang berasal berasal dari Allah). Dan kalau dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia terhitung bisa mendapatkan pujian-Nya.“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) berasal berasal dari Rabb mereka dan mendapatkan curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan berasal berasal dari Allah atas dosa-dosanya terhitung bisa didapatkan, begitu pula derajatnya pun bisa terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya kudu ini niscaya dia bisa mendapatkan balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam bersama bersama ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).Dari hadits di atas kami bisa menuai sebagian pelajaran berharga, yaitu:Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), pasti saja yang sesuai bersama bersama kemuliaan dan keagungan-Nya.Kebaikan dan keburukan sama-sama udah ditakdirkan berasal berasal dari Allah ta’ala.Musibah yang menimpa orang mukmin terhitung sinyal kebaikan. Selama tentang itu tidak memicu dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.

Hendaknya kami jadi cemas dan berhati-hati terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini selalu kami rasakan.Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketentuan takdir tidak mengenakkan yang udah diputuskan-Nya berjalan terhadap diri kita.Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah kudu berarti Allah meridhoi orang tersebut. (Al Jadiid, hal. 320 bersama bersama sedikit penyesuaian redaksional). Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman, “Sungguh Kami bisa menguji kalian bersama bersama sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang kalau tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal berasal berasal dari Allah, dan kami terhitung bisa ulang kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang bisa mendapatkan ucapan sholawat (pujian) berasal berasal dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah bicara di di di didalam kitab tafsirnya, “Ayat ini tunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak terima lawan darinya, berwujud celaan berasal berasal dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan terhadap ke dua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar kalau dibandingkan bersama bersama besarnya penderitaan yang kudu ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala terhitung berfirman, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah bicara di di di didalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku lazim untuk semua model kesabaran. Sabar di di didalam menghadapi takdir Allah yang jadi menyakitkan, yakni hamba tidak jadi marah karenanya. Sabar berasal berasal dari kemaksiatan kepada-Nya, yakni bersama bersama cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar di di didalam melakukan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun jadi lapang di di didalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, berarti tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan tentang itu tidaklah bisa diraih kalau disebabkan dikarenakan begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di faktor Allah, dan tunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).Semoga Allah memasukkan kami di kalangan hamba-hambaNya yang sabar. Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Bagikan

Jangan lewatkan

Cahaya Mudah Saat Ada Musibah Bencana
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.